Bedhaya Retno Dumilah Panembahan Senopati

Bedhaya Retno Dumilah Panembahan Senopati
Berawal dari perang antara kerajaan Mataram dan Madiun. Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati sedang Madiun di bawah pimpinan Adipati Ronggolumpeno. Menurut ramalan Sunan Giri, sebelum melakukan ekspansi wilayah ke arah timur, sebaiknya Panembahan Senapati menaklukkan wilayah Bang – wetan. 

Sebutan untuk beberapa wilayah di sebelah timur kerajaan Mataram. Dan salah satunya adalah kabupaten Madiun. Di bawah kepemimpinan Adipati Ronggolumpeno, daerah-daerah Bang – wetan bersatu padu dan tidak mau menyerah begitu saja dengan kerajaan Mataram. Bahkan daerah yang tergabung dalam Bang-wetan berniat melakukan penyerangan, dan hal itu sudah tercium oleh Penembahan Senopati. 

Sehingga Panembahan Senopati mengatur strategi perang dan melakukan perundingan dengan Ki Juru Mertani bagaimana cara mengalahkan prajurit Madiun yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah prajurit Mataram. Gerakan sila dalam tari bedhaya Bedhah Madiun yang dipentaskan di Pendapa Mangkunegaran. Tujuh penari bedhaya Bedhah Madiun di Pendapa Mangkunegaran. 

Akhirnya Panembahan Senopati menyuruh salah satu abdi dalemnya perempuan yang bernama Adisara untuk membuat surat kalau Panembahan Senopati takluk kepada Adipati Ronggolumpeno dan memintanya untuk segera membubarkan pasukannya. Ketika jumlah pasukan Madiun berkurang, kesempatan itu digunakan Panembahan untuk menyerang Madiun. Karena tidak siap, maka pasukan Madiun mengalami kekalahan. Para penari berpose di bale warni, salah satu ruang di Pura Mangkunegaran. Mengetahui tipu muslihat tersebut, Adipati Ronggolumpeno geram. 

Karena rasa kecewa yang mendalam, beliau-pun melarikan diri. Dalam masa melarikan diri tersebut, Adipati Ronggolumpeno tetap menyusun kekuatan. Beliau sangat sadar bahwa kekuatan musuh luar biasa. Maka beliaupun juga menyusun strategi. Setelah dirasa cukup, beliau mengangkat putrinya yang bernama Retno Dumilah untuk menjadi senopati perang. Memimpin pasukan Madiun. Dengan sigap dan garang cundrik (pusaka perempuan) Retno Dumilah dan pasukannya mengobrak-abrik dan membinasakan pasukan Mataram. Hal itu diketahui oleh Panembahan. 

Untuk melindungi pasukannya, Panembahan berhadapan langsung dengan Retno Dumilah. Terjadilah peperangan yang sengit diantara keduanya. Sama-sama kuat, sama-sama tangguh. Dalam perang tersebut, diam-diam Panembahan terpesona oleh kecantikan Retno Dumilah. Dengan rayuan maut yang sedemikian gencar dilancarkan oleh Panembahan membuat cundrik Retno Dumilah terjatuh. Hal tersebut menjadi simbol kalahnya pasukan Madiun. Dan kemudian Retno Dumilahpun menjadi istri Panembahan Senopati. 

Diilhami dari cerita tersebut, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro IV membuat karya tari bedhaya Retno Dumilah. Namun tidak seperti bedhaya-bedhaya yang ada dalam lingkungan keraton Kasunanan Surakarta yang jumlah penarinya 9 orang, bedhaya Retno Dumilah jumlah penarinya 7 orang. Hal ini dikarenakan secara pemerintahan Mangkunegaran di bawah kasunanan Surakarta. Namun, ada sumber lain yang mengatakan bahwa tari bedhaya Retno Dumilah merupakan karya Sultan Hamengku Buwono VIII. Raja kasultanan Yogyakarta. Karena sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan tari bedhaya Retno Dumilah karya Sultan HB VII, maka saya tidak bisa menceritakan perbedaan keduanya. Walaupun termasuk tari putri, namun gerakan-gerakan tari bedhaya Retno Dumilah karya KGPAA Mangkunegaran IV (gaya Mangkunegaran) gagah. Karena tari tersebut merupakan tarian perang yang menggambarkan sepak terjang Retno Dumilah kala itu.