Bedhaya Sabda Aji

Bedhaya Sabda Aji
Sabda Aji, artinya kurang lebih perintah raja (dhawuhe Sang Nata) atau titah raja. Raja yang dimaksud adalah raja Kasultanan  Yogyakarta, Sri Sultan HB IX. Saat itu kira-kira tahun 1987, Sultan Hamengku Buwono B IX  mengundang tokoh-tokoh tari  dari Yogyakarta, beliau menghendaki Golek Menak dikembangkan. HB IX benar-benar sosok yang moderat, demokrat sejati, dan transformastor budaya yang mumpuni. Hal tersebut salah satunya terlihat dari keinginan beliau, untuk memasukkan berbagai unsur budaya Nusantara ke dalam Golek Menak.

Golek Menak adalah tari Yogyakarta genre baru, merupakan salah satu karya Sultan HB IX. Gerak tari  Golek Menak patah-patah, seolah boneka kayu yang sedang menari, sedangkan isi ceritanya bersumber pada Serat Menak, yang berasal dari negeri 1001 malam. Golek Menak sangat menarik, geraknya amat khas, dan tidak mudah membawakannya.

Bedaya Sabda Aji, adalah bedaya Golek Menak yang pertama, merupakan karya R. Ay. Sri Kadarjati Ywandjono yang saat ini sudah berusia 66 tahun. Karya yang  dibuat tahun 2007 itu, seolah olah merupakan jawaban Sri Kadaryati, salah satu empu tari Yogyakarta yang juga cucu Sultan Hamengku Buwono B VIII, terhadap titah Sultan HB IX dua pulah tahun silam.

Sesuai dengan pesan dan semangat akulturasi dan transfosmasi kraton Yogyakarta, Kadarjati memasukkan unsur kendangan Sunda yang dinamis dan unsur silat Padang. Jadi, bedaya ini terasa sangat unik dengan adanya gerak patah-patah seperti golek kayu, kendangan yang  rancak, dan ada unsur silat pula.

Keunikan tidak berhenti di situ, salah satu penari (batak) memakai kostum yang berbeda untuk menunjukkan adanya tokoh dari cerita Serat Menak. Bedaya Sanda Aji menjadi lebih istimewa, karena putri Sultan HB X, GKR Pembayun terlibat menari, sebagai jangga.

Usai pementasan Bedaya Sabda Aji dipersembahkan kepada Sultan HBX, artinya sejak itu pula Bedaya Sabda Aji adalah milik Sultan HB X. Sudah jamak di dunia seni (dulu), sebuah karya dipersembahkan kepada raja, dan akhirnya dianggap karya raja tersebut. Namun tidak selalu seperti itu, karena karya yang lahir atas prakarsa raja atau penguasa kala itu, juga dianggap karya pemrakrasa atau penguasa.

Apalagi, raja dan keluarganya (sentana dalem) semua bisa menari. Bahkan, untuk belajar tata krama semua putra-putri raja wajib belajar menari. Itu dulu tentu. Sekarang kurang jelas, apakah masih berlaku belajar tata krama dilakukan dengan belajar menari/ wayang wong ataukah tidak. Namun, besar kemungkinan tidak lagi.

Banyaknya karya seni dan sastra yang noname di Jawa/ Indonesia, kebanyakan karena sifat rendah hati seseorang (pengarang), mereka tidak mau menonjolkan diri. Akibatnya, banyak pula karya yang tidak terdokumentasi dengan baik, karena penyebaran ataupun pelestariannya hanya gethok tular, seperti tutur tinular. Aslinya seperti apa, karya siapa, sulit ditelusuri.

Karya-karya yang berupa persembahan dari kawula kepada raja, tidak sedikit, baik berupa lagu atau gending, tarian, tembang lukisan (batik) dan lain-lain. Bagi kawula (rakyat jelata) bisa mempersembahkan sesuatu kepada raja, apalagi disukai, adalah hal yang membanggakan. Mereka berbuat seperti itu tanpa pamrih, kecuali bakti dan bukti cinta rakyat kepada rajanya, pengayomnya.

Beberapa bedaya dipersembahkan kepada Sultan HB X sebelumnya, seperti Bedaya Sang Amurwa Bumi, Bedaya Harjuna Wiwaha, dan lain-lain.

Bedhaya Sabda Aji merupakan bedaya golek Menak yang pertama, dipersembahkan kepada Sultan HB X. Paling kiri adalah GKR Pembayun, putri Sultan HB X